Save The Earth

Peran pemerintah dan Perusahaan Untuk Mengatasi Konflik Tenurial

Secara umum tenurial atau “tenure” dapat dimaknai sebagai hak pemangkuan dan penguasaan terhadap lahan dan sumberdaya alam yang dikandungnya. Dapat Juga diartikan sebagai kepemilikan terhadap lahan atau kepemilikan atas hak atau kepentingan atas lahan. Pengakuan hak terhadap lahan tersebut bisa bersifat individu, kelompok atau Negara.
 
Konflik tenurial bisa terjadi karena ketidakpastian kepemilikan atas lahan sehingga terjadinya konflik antara penduduk setempat dengan pihak yang berkepentingan dengan kawasan tersebut. Karena setidak tidaknya terdapat 50 juta orang yang bermukim disekitar kawasan hutan dengan lebih 33 ribu desa yang berbatasan dengan lahan atau kawasan hutan. Berdasarkan data situs berita lingkungan mongabay Indonesia, Dari seluruh kawasan hutan seluas 130 juta hektar maka areal yang telah selesai ditatabatas (istilahnya “temu gelang”) baru sekitar 12 persen (14,2 juta hektar).
 
Persoalan ketidakpastian tata batas hutan ini tidak hanya menimpa masyarakat adat ataupun masyarakat lokal yang berdiam dan memanfaatkan lahan dan sumber daya di dalam kawasan hutan, tetapi juga institusi yang memiliki izin usaha kehutanan dan pemerintah. Di tingkat lapangan batas yang berupa patok batas hutan juga seringkali tidak jelas sehingga sulit diverifikasi dalam pembuatan berita acara.
 
Untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan, maka diperlukan proses pengukuhan kawasan hutan, dimana seluruh proses yang harus dilakukan adalah penunjukan, penetapan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan. Proses ini semua adalah untuk menuju suatu kawasan hutan yang “legal dan legitimate”.
 
Konflik tenurial ini tidak dapat dipungkiri bahwa sangat erat hubungannya dengan terjadi nya kebakaran hutan khususnya kebakaran diareal gambut. Dan idak dapat dipungkiri kebakaran ini sebagian besar terjadi di areal konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Perkebunan.
 
 
 
Pada tahun 2015 saya pernah berbincang dengan 3 warga yang tinggal bedampingan dengan areal perkebunan dan saat itu tepat terjadinya kabut asap yang melanda sampai lintas Negara. Dalam pengakuan mereka, kebakaran yang terjadi salah satu nya karena disengaja  karena ada merasa dirugikan dan mereka melakukan tidakan tersebut dengan teknik obat nyamuk. Pada histori nya mereka tinggal didaerah tersebut dari turun temurun jauh sebelum ada perkebunan dengan mengolah lahan atau hutan menjadi area pertanian. Dengan masuknya perkebunan kelapa sawit di daerah mereka dan secara tiba tiba lahan yang mereka garap selama ini sebagai lahan pertanian masuk dalam area perkebunan tersebut. Sebagai rakyat biasa dan tidak tahu apa apa tentu nya harus mengalah apa lagi mereka tidak mempunyai surat atas kepemilikan Tanah tersbut. Dari sinilah terjadi konflik tenurial tersebut karena tidak ada kepastian atas kepemilikan atau batas wilayah oleh pemerintah. Dalam hal ini pemerintah harus aktif baik melindungi hak masyarakat nya maupun hak bagi pengusaha. dan ini akhirnya bertujuan untuk kesejahteraan  masyarakat itu sendiri.
 
Hal ini harus menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah untuk mengatasi permasalahan yang terjadi. Berdasarkan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Konferensi Internasional tentang Tenurial dan Tata Kelola Hutan dan Kewirausahaan di Lombok pada tahun 2011, direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:
  1. Memperkuat legalitas kawasan hutan.
  2. Memperkuat kepastian hak semua pihak atas kawasan hutan.
  3. Menciptakan sistem yang efektif untuk percepatan pengukuhan kawasan hutan.
  4. Mendorong pembentukan kebijakan terpadu dalam penguasaan tanah dan kawasan hutan dan koordinasi kewenangan antara sektor yang terkait dengan urusan penguasaan tanah dan kawasan hutan.
Bagi prusahaan baik perkebunan maupun Hutan Tanam Industri (HTI) harus mempunyai inovasi atau trobosan untuk mengatasi konflik ini. Dan kebetulan saya bekerja di salah satu perusahaan Pulp and Paper yaitu PT RAPP dan tahu betul bagai mana perusahaan melakukan program untuk mereduce terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) baik diakibatkan konflik tenurial maupun yang lain. Program tersebut di beri nama Desa Bebas Api atau Free Fire Village. Dan program ini terbukti efektif untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan, karena melalui program ini, setiap orang di ingatkan untuk tidak membakar hutan dan lahan lagi.
 
Untuk tahun 2017 ini, jumlah desa di Provinsi Riau yang termasuk dalam program Desa Bebas Api berjumlah 18 desa yang berasal dari Kabupaten Pelalawan (Langgam, Penarikan dan Pangkalan Gondai), Siak (Dayun, Olak, Lubuk Jering), dan Kepulauan Meranti (Tanjung Padang, Tasik Putri Puyu, Mekar Delima, Dedap, Kudap, Lukit, Bumi Asri, Pelantai, Teluk Belitung, Mayang Sari, Bagan Melibur dan Mekar Sari).

 
 
Program ini bertujuan untuk menyadarkan masyarakat agar tidak membakar lahan, menyediakan alternantif pertanian dengan membantu membukakan lahan menggunakan alat pertanian, mensosialisasikan  kepada masyarakat terkait bahaya membuka lahan dengan cara bakar dan pemantauan kualitas udara. Dan di setiap Desa terdapat satu koordinator atau seorang yang sangat potensial untuk penggerak dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Setiap hari mengelilingi desa untuk memantau api, Mereka juga mensosialisasikan bahaya karhutla kepada masyarakat setempat.
 
Desa yang bergabung dalam program ini bukanlah tanpa alasan. Hal ini karena pihak RAPP memberikan reward yang menarik kepada desa yang telah sukses mencegah pembakaran lahan di wilayahnya. Reward tersebut berupa pemberian Rp 100 juta non-cash atau dalam bentuk program jika sebuah desa telah sukses menerapkan zero api. Sementara, jika masih ada pembakaran lahan, desa yang bersangkutan hanya akan diberikan setengahnya yaitu Rp 50 juta. Hadiah ini tidak diberikan dalam bentuk uang melainkan barang atau dalam bentuk pembangunan infrastruktur di desa.

Pada intinya dengan merangkul dan mencari solusi permasalahan dimasyarakat yang hidup berdampingan dengan lahan konsesi baik itu dengan mengembangkan  Usaha Kecil Menengah (UKM), Pendidikan, Kesehatan, Memberi Pelatihan Kewirausahaan, dan lain lain terbuki dapat menekan terjadinya konflik antara perusahaan dan masyarakat serta mengurangi kebakaran hutan dan lahan. Dan program program seperti ini harus digalakkan oleh perusahaan perusahaan lain demi terciptanya hidup yang harmoni.
 

 
Sumber :
Share:

Dilema Lahan Gambut

Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi dari sisa sisa tumbuhan yang setengah membusuk; oleh sebab itu kandungan bahan organiknya sangat tinggi. Sebagai bahan organic maka gambut dapat digunakan sebagai sumber energi dan kira kira potensi energi yang dihasilkan bisa mencapai 8 milyar terajoule . Volume gambut diseluruh dunia diperkirakan mencapai 4 tryliun m3, yang menutupi wilayah sebesar kurang lebih 3 juta km2 atau sebesar 3% dari luas daratan di bumi. Berikut ciri ciri dari Tanah Gambut :
 
  1. Banyak terbentuk pada wilayah rawa
  2. Kurang subur, basah, lembek atau lunak
  3. Berwarna Gelap
  4. Memiliki sifat asam
Menurut keadaan dan sifatnya, Tanah gambut terbagi menjadi dua jenis, yaitu :
1.  Gambut Topogen
     Gambut Toporogen adalah tanah gambut yang terdapat di bagian atas tanah mineral pada dasar danau, sehingga lama-lama danau dipenuhi oleh lapisan tanah gambut tersebut. Tumbuhan masih dapat tumbuh dengan subur dan baik pada lahan gambut topogen. Gambut topogen biasanya memiliki kedalaman sekitar 4 meter, subur, dengan kadar keasaman air rendah, memiliki kandungan unsur hara yang berasal dari tanah mineral di dasar danau, jarang dijumpai.
 
2. Gambut Ombrogen 
    Gambut Ombrogen adalah tanah gambut yang terletak (berkembang) di atas gambut topogen. Jenis gambut ini lebih sering dijumpai, meski semua gambut ombrogen bermula sebagai gambut topogen. Gambut ombrogen lebih tua umurnya, pada umumnya lapisan gambutnya lebih tebal, hingga kedalaman 20 m, dan permukaan tanah gambutnya lebih tinggi daripada permukaan sungai di dekatnya. Kandungan unsur hara tanah sangat terbatas, hanya bersumber dari lapisan gambut dan dari air hujan, sehingga tidak subur. Sungai-sungai atau drainase yang keluar dari wilayah gambut ombrogen mengalirkan air yang keasamannya tinggi (pH 3,0–4,5), mengandung banyak asam humus dan warnanya coklat kehitaman seperti warna air teh yang pekat. Itulah sebabnya sungai-sungai semacam itu disebut juga sungai air hitam.
 
 
Gambar 1. Pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen

Secara teknis lahan gambut dikelompokan ke dalam jenis lahan basah. Setengah dari luas lahan basah di bumi ini berupa lahan gambut. Proporsinya mencapai 3% dari total daratan yang ada. Meski terbilang kecil, gambut menyimpan cadangan karbon dua kali lebih besar dari semua hutan yang ada. Lahan gambut bisa ditemukan di hampir semua negara, mulai dari iklim kutub, sub tropis hingga tropis. Selain karbon, tanah gambut juga dapat menyimpan air dalam jumlah yang besar atau berkali- kali lipat dibandingkan dengan jenis tanah lainnya. Karena kemampuannya menyimpan banyak air berkali- kali lipat, maka tanah atau hutan gambut ini sangat efektif dalam mencegah terjadinya bencana banjir. Maka tidak mengherankan apabila di daerah yang dekat dengan aliran air banyak kita jumpai lahan- lahan gambut. Hal ini ternyata bertujuan untuk mencegah terjadinya bencana banjir sehingga tidak merugikan orang- orang yang berada di dekatnya.


Gambar 2. Sebaran Lahan Gambut di Seluruh Dunia

Asia Tenggara merupakan tempat lahan gambut tropis terluas, sekitar 60% gambut tropis atau sekitar 27 juta hektar terletak di kawasan ini. Lahan gambut di Asia Tenggara meliputi 12% total luas daratannya. Sekitar 83% masuk dalam wilayah Indonesia, yang sebagian besar tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Lahan gambut di Indonesia mempunyai ketebalan 1 hingga 12 meter, bahkan di tempat tertentu bisa mencapai 20 meter Kubik.

Khusus di Provinsi Riau, memiliki sebaran lahan gambut sebesar 4.044 juta hektar. Luas lahan gambut ini merupakan terluas dibandingkan daerah yang lain di Sumatra (56.1% dari luas hutan gambut di Sumatra atau 45% dari luas daratan Riau).

Riau Memiliki beberapa perusahaan besar baik itu perusahaan Kelapa sawit maupun Pulp and Paper. Mayoritas lahan yang digunakan untuk wilayah tanam adalah lahan gambut. Ada sekitar  2.5 juta hektar lahan gambut yang telah diberi izin  usaha baik itu HTI maupun perkebunan. Isu yang hangat atau menghebohkan khususnya pengusaha baru baru ini adalah sebanyak 2.5 juta hektar lahan gambut tersebut harus di kosongkan dan harus dikembalikan ke ekosistem yang semestinya melalui Permen KLH No P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/22017. Melalui peraturan ini Areal hutan tanaman industri (HTI) hanya bisa panen satu daur saja, dan pemegang izin harus mengembalikannya fungsinya seperti hutan alam.

Inilah paket baru kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mengatasi persoalan lingkungan di kawasan gambut, terutama kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang menimbulkan polusi kabut asap lintas negara. Paket ini terdiri dari empat peraturan menteri (Permen) dan dua keputusan menteri (Kepmen), yang diteken Menteri LHK Siti Nurbaya sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah (PP) No. 57 tahun  2016 tentang Perubahan PP No. 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut  (PP Gambut). Paket kebijakan ini sudah ditandatangani Menteri LHK pada 9 Februari 2017.
 
Yang menarik, pemerintah melalui  PP Gambut, yakni tinggi muka air gambut minimal 0,4 meter — untuk akan menentukan rusak-tidaknya gambut hingga terlarang dibudidayakan. KLHK ternyata juga telah menetapkan peta indikatif 856 Kesatuan Hidorologi Gambut (KHG), yang disusun berdasarkan peta Lahan Gambut dari Kementerian Pertanian, Peta Hidrologi/Jaringan Sungai Rupa Bumi Indonesia, Peta Sistem Lahan dan Peta Rawa dari Kementerian Pekerjaan Umum. Luasnya? Tercatat 24,6 juta hektare (ha).
 
Namun, dari luasan KHG itu, yang bisa dibudidayakan ternyata kurang dari separuh atau 12,26 juta ha. Sisanya seluas 12,39 juta ha ditetapkan memiliki fungsi lindung. Nah, dari sinilah potensi kehebohan bakal muncul. Mengapa? Karena di kawasan lindung ini ada areal seluas 2,5 juta ha yang sudah dibebani izin hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan. Untuk HTI tercatat 1,6 juta ha, dan sisanya (sekitar 900.000 ha) perkebunan. Dan untuk masalah ini pemerintah memeberi solusi atau menawarkan land swap alias lahan pengganti agar kegiatan usaha tidak terganggu, terutama jika 40% atau lebih konsesinya masuk dalam fungsi lindung.
 
Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) LHK, mengaku ada sekitar 800.000 ha hutan yang bisa dimanfaatkan untuk land swap dan selain itu bagai mana nasib perkebunan? tentu ini merupakan tanda tanya besar. dan lahan ini masih kurang yang mana lahan yang akan di restorasi tadi sebanyak 2.5 Juta Hektar. Dan ini kelihatan nya akan semakain rumit baik itu Pengusaha, pekerja maupun pemerintah.
 
Menurut ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Komisariat Daerah Riau, sampai akhir tahun ini, diperkirakan akan ada 4.000 orang yang terpaksa di-PHK (pemutusan hubungan kerja) sebagai konsekuensi dari penerapan regulasi tentang gambut ini. Dan selanjutnya PHK akan dilakukan secara bertahap selama lima tahun. Perusahaan bukan tanpa konsekuensi melakukan PHK, karena akan menanggung biaya PHK sebesar Rp520 miliar.
 
Sebagai pecinta lingkungan tentunya kita setuju tentan permen No P.17 ini karena demi menjaga hutan lindung kita terutama hutan gambut dan menjaga eksosistem didalamnya. Bagi pengusaha ini merupakan ancaman keberlangsungan perusahaan karena berkurangnya bahan baku dan akan mengalami kerugian yang sangat besar serta memerlukan biaya yang tidak sedikit apabila melakukan Land Swap. Dan  bagi pemerintah dan pekerja akan berdampak meningkatnya pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja dengan pemnerapan regulasi ini. Ini merupakan dilema bagi kita semua dan faktanya ini lah yang terjadi pada saat sekarang ini yaitu "Dilema Hutan Gambut"
 
Kita berharap secara bijak baik pengusaha, pekerja,  maupun pemerintah duduk bersama untuk menemukan win win solution untuk permasalahan ini dan kedapannya menemukan jalan keluar untuk permasalahan yang dihadapi sekarang ini tanpa ada yang dirugikan. Sebagai catatan Alam butuh dijaga keseimbangannya demi keberlangsungan eksistem didalamnya, pengusaha butuh bahan baku untuk menjalan perusahannya dan pemerintah butuh integritas untuk melakukan pengawasan dan perlindungan, maka dari itu semua harus bersatu untuk menjadikan ketiga nya berdampingan secara harmoni. Sekian terimakasih.
 
 
Sumber :
Share:

Mengenai Saya

Foto saya
Kerinci, Riau, Indonesia
Energi merupakan kebutuhan yang sangat penting di segala aspek kehidupan. mulai dari industri, transportasi,prumahan, dan lain-lain membutuhkan energi. energi yang dominan digunakan sekarang adalah energi bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil tergolong energi tak terbarukan sehingga semakin lama digunakan maka energi ini akan habis. mari kita pikirkan bagaimana energi terbarukan (renewable) dapat dioptimalkan penggunannya untuk saat sekarang ini.

Total Tayangan Halaman

Like and Share