Save The Earth

Peran pemerintah dan Perusahaan Untuk Mengatasi Konflik Tenurial

Secara umum tenurial atau “tenure” dapat dimaknai sebagai hak pemangkuan dan penguasaan terhadap lahan dan sumberdaya alam yang dikandungnya. Dapat Juga diartikan sebagai kepemilikan terhadap lahan atau kepemilikan atas hak atau kepentingan atas lahan. Pengakuan hak terhadap lahan tersebut bisa bersifat individu, kelompok atau Negara.
 
Konflik tenurial bisa terjadi karena ketidakpastian kepemilikan atas lahan sehingga terjadinya konflik antara penduduk setempat dengan pihak yang berkepentingan dengan kawasan tersebut. Karena setidak tidaknya terdapat 50 juta orang yang bermukim disekitar kawasan hutan dengan lebih 33 ribu desa yang berbatasan dengan lahan atau kawasan hutan. Berdasarkan data situs berita lingkungan mongabay Indonesia, Dari seluruh kawasan hutan seluas 130 juta hektar maka areal yang telah selesai ditatabatas (istilahnya “temu gelang”) baru sekitar 12 persen (14,2 juta hektar).
 
Persoalan ketidakpastian tata batas hutan ini tidak hanya menimpa masyarakat adat ataupun masyarakat lokal yang berdiam dan memanfaatkan lahan dan sumber daya di dalam kawasan hutan, tetapi juga institusi yang memiliki izin usaha kehutanan dan pemerintah. Di tingkat lapangan batas yang berupa patok batas hutan juga seringkali tidak jelas sehingga sulit diverifikasi dalam pembuatan berita acara.
 
Untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan, maka diperlukan proses pengukuhan kawasan hutan, dimana seluruh proses yang harus dilakukan adalah penunjukan, penetapan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan. Proses ini semua adalah untuk menuju suatu kawasan hutan yang “legal dan legitimate”.
 
Konflik tenurial ini tidak dapat dipungkiri bahwa sangat erat hubungannya dengan terjadi nya kebakaran hutan khususnya kebakaran diareal gambut. Dan idak dapat dipungkiri kebakaran ini sebagian besar terjadi di areal konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Perkebunan.
 
 
 
Pada tahun 2015 saya pernah berbincang dengan 3 warga yang tinggal bedampingan dengan areal perkebunan dan saat itu tepat terjadinya kabut asap yang melanda sampai lintas Negara. Dalam pengakuan mereka, kebakaran yang terjadi salah satu nya karena disengaja  karena ada merasa dirugikan dan mereka melakukan tidakan tersebut dengan teknik obat nyamuk. Pada histori nya mereka tinggal didaerah tersebut dari turun temurun jauh sebelum ada perkebunan dengan mengolah lahan atau hutan menjadi area pertanian. Dengan masuknya perkebunan kelapa sawit di daerah mereka dan secara tiba tiba lahan yang mereka garap selama ini sebagai lahan pertanian masuk dalam area perkebunan tersebut. Sebagai rakyat biasa dan tidak tahu apa apa tentu nya harus mengalah apa lagi mereka tidak mempunyai surat atas kepemilikan Tanah tersbut. Dari sinilah terjadi konflik tenurial tersebut karena tidak ada kepastian atas kepemilikan atau batas wilayah oleh pemerintah. Dalam hal ini pemerintah harus aktif baik melindungi hak masyarakat nya maupun hak bagi pengusaha. dan ini akhirnya bertujuan untuk kesejahteraan  masyarakat itu sendiri.
 
Hal ini harus menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah untuk mengatasi permasalahan yang terjadi. Berdasarkan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Konferensi Internasional tentang Tenurial dan Tata Kelola Hutan dan Kewirausahaan di Lombok pada tahun 2011, direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:
  1. Memperkuat legalitas kawasan hutan.
  2. Memperkuat kepastian hak semua pihak atas kawasan hutan.
  3. Menciptakan sistem yang efektif untuk percepatan pengukuhan kawasan hutan.
  4. Mendorong pembentukan kebijakan terpadu dalam penguasaan tanah dan kawasan hutan dan koordinasi kewenangan antara sektor yang terkait dengan urusan penguasaan tanah dan kawasan hutan.
Bagi prusahaan baik perkebunan maupun Hutan Tanam Industri (HTI) harus mempunyai inovasi atau trobosan untuk mengatasi konflik ini. Dan kebetulan saya bekerja di salah satu perusahaan Pulp and Paper yaitu PT RAPP dan tahu betul bagai mana perusahaan melakukan program untuk mereduce terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) baik diakibatkan konflik tenurial maupun yang lain. Program tersebut di beri nama Desa Bebas Api atau Free Fire Village. Dan program ini terbukti efektif untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan, karena melalui program ini, setiap orang di ingatkan untuk tidak membakar hutan dan lahan lagi.
 
Untuk tahun 2017 ini, jumlah desa di Provinsi Riau yang termasuk dalam program Desa Bebas Api berjumlah 18 desa yang berasal dari Kabupaten Pelalawan (Langgam, Penarikan dan Pangkalan Gondai), Siak (Dayun, Olak, Lubuk Jering), dan Kepulauan Meranti (Tanjung Padang, Tasik Putri Puyu, Mekar Delima, Dedap, Kudap, Lukit, Bumi Asri, Pelantai, Teluk Belitung, Mayang Sari, Bagan Melibur dan Mekar Sari).

 
 
Program ini bertujuan untuk menyadarkan masyarakat agar tidak membakar lahan, menyediakan alternantif pertanian dengan membantu membukakan lahan menggunakan alat pertanian, mensosialisasikan  kepada masyarakat terkait bahaya membuka lahan dengan cara bakar dan pemantauan kualitas udara. Dan di setiap Desa terdapat satu koordinator atau seorang yang sangat potensial untuk penggerak dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Setiap hari mengelilingi desa untuk memantau api, Mereka juga mensosialisasikan bahaya karhutla kepada masyarakat setempat.
 
Desa yang bergabung dalam program ini bukanlah tanpa alasan. Hal ini karena pihak RAPP memberikan reward yang menarik kepada desa yang telah sukses mencegah pembakaran lahan di wilayahnya. Reward tersebut berupa pemberian Rp 100 juta non-cash atau dalam bentuk program jika sebuah desa telah sukses menerapkan zero api. Sementara, jika masih ada pembakaran lahan, desa yang bersangkutan hanya akan diberikan setengahnya yaitu Rp 50 juta. Hadiah ini tidak diberikan dalam bentuk uang melainkan barang atau dalam bentuk pembangunan infrastruktur di desa.

Pada intinya dengan merangkul dan mencari solusi permasalahan dimasyarakat yang hidup berdampingan dengan lahan konsesi baik itu dengan mengembangkan  Usaha Kecil Menengah (UKM), Pendidikan, Kesehatan, Memberi Pelatihan Kewirausahaan, dan lain lain terbuki dapat menekan terjadinya konflik antara perusahaan dan masyarakat serta mengurangi kebakaran hutan dan lahan. Dan program program seperti ini harus digalakkan oleh perusahaan perusahaan lain demi terciptanya hidup yang harmoni.
 

 
Sumber :
Share:

Dilema Lahan Gambut

Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi dari sisa sisa tumbuhan yang setengah membusuk; oleh sebab itu kandungan bahan organiknya sangat tinggi. Sebagai bahan organic maka gambut dapat digunakan sebagai sumber energi dan kira kira potensi energi yang dihasilkan bisa mencapai 8 milyar terajoule . Volume gambut diseluruh dunia diperkirakan mencapai 4 tryliun m3, yang menutupi wilayah sebesar kurang lebih 3 juta km2 atau sebesar 3% dari luas daratan di bumi. Berikut ciri ciri dari Tanah Gambut :
 
  1. Banyak terbentuk pada wilayah rawa
  2. Kurang subur, basah, lembek atau lunak
  3. Berwarna Gelap
  4. Memiliki sifat asam
Menurut keadaan dan sifatnya, Tanah gambut terbagi menjadi dua jenis, yaitu :
1.  Gambut Topogen
     Gambut Toporogen adalah tanah gambut yang terdapat di bagian atas tanah mineral pada dasar danau, sehingga lama-lama danau dipenuhi oleh lapisan tanah gambut tersebut. Tumbuhan masih dapat tumbuh dengan subur dan baik pada lahan gambut topogen. Gambut topogen biasanya memiliki kedalaman sekitar 4 meter, subur, dengan kadar keasaman air rendah, memiliki kandungan unsur hara yang berasal dari tanah mineral di dasar danau, jarang dijumpai.
 
2. Gambut Ombrogen 
    Gambut Ombrogen adalah tanah gambut yang terletak (berkembang) di atas gambut topogen. Jenis gambut ini lebih sering dijumpai, meski semua gambut ombrogen bermula sebagai gambut topogen. Gambut ombrogen lebih tua umurnya, pada umumnya lapisan gambutnya lebih tebal, hingga kedalaman 20 m, dan permukaan tanah gambutnya lebih tinggi daripada permukaan sungai di dekatnya. Kandungan unsur hara tanah sangat terbatas, hanya bersumber dari lapisan gambut dan dari air hujan, sehingga tidak subur. Sungai-sungai atau drainase yang keluar dari wilayah gambut ombrogen mengalirkan air yang keasamannya tinggi (pH 3,0–4,5), mengandung banyak asam humus dan warnanya coklat kehitaman seperti warna air teh yang pekat. Itulah sebabnya sungai-sungai semacam itu disebut juga sungai air hitam.
 
 
Gambar 1. Pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen

Secara teknis lahan gambut dikelompokan ke dalam jenis lahan basah. Setengah dari luas lahan basah di bumi ini berupa lahan gambut. Proporsinya mencapai 3% dari total daratan yang ada. Meski terbilang kecil, gambut menyimpan cadangan karbon dua kali lebih besar dari semua hutan yang ada. Lahan gambut bisa ditemukan di hampir semua negara, mulai dari iklim kutub, sub tropis hingga tropis. Selain karbon, tanah gambut juga dapat menyimpan air dalam jumlah yang besar atau berkali- kali lipat dibandingkan dengan jenis tanah lainnya. Karena kemampuannya menyimpan banyak air berkali- kali lipat, maka tanah atau hutan gambut ini sangat efektif dalam mencegah terjadinya bencana banjir. Maka tidak mengherankan apabila di daerah yang dekat dengan aliran air banyak kita jumpai lahan- lahan gambut. Hal ini ternyata bertujuan untuk mencegah terjadinya bencana banjir sehingga tidak merugikan orang- orang yang berada di dekatnya.


Gambar 2. Sebaran Lahan Gambut di Seluruh Dunia

Asia Tenggara merupakan tempat lahan gambut tropis terluas, sekitar 60% gambut tropis atau sekitar 27 juta hektar terletak di kawasan ini. Lahan gambut di Asia Tenggara meliputi 12% total luas daratannya. Sekitar 83% masuk dalam wilayah Indonesia, yang sebagian besar tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Lahan gambut di Indonesia mempunyai ketebalan 1 hingga 12 meter, bahkan di tempat tertentu bisa mencapai 20 meter Kubik.

Khusus di Provinsi Riau, memiliki sebaran lahan gambut sebesar 4.044 juta hektar. Luas lahan gambut ini merupakan terluas dibandingkan daerah yang lain di Sumatra (56.1% dari luas hutan gambut di Sumatra atau 45% dari luas daratan Riau).

Riau Memiliki beberapa perusahaan besar baik itu perusahaan Kelapa sawit maupun Pulp and Paper. Mayoritas lahan yang digunakan untuk wilayah tanam adalah lahan gambut. Ada sekitar  2.5 juta hektar lahan gambut yang telah diberi izin  usaha baik itu HTI maupun perkebunan. Isu yang hangat atau menghebohkan khususnya pengusaha baru baru ini adalah sebanyak 2.5 juta hektar lahan gambut tersebut harus di kosongkan dan harus dikembalikan ke ekosistem yang semestinya melalui Permen KLH No P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/22017. Melalui peraturan ini Areal hutan tanaman industri (HTI) hanya bisa panen satu daur saja, dan pemegang izin harus mengembalikannya fungsinya seperti hutan alam.

Inilah paket baru kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mengatasi persoalan lingkungan di kawasan gambut, terutama kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang menimbulkan polusi kabut asap lintas negara. Paket ini terdiri dari empat peraturan menteri (Permen) dan dua keputusan menteri (Kepmen), yang diteken Menteri LHK Siti Nurbaya sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah (PP) No. 57 tahun  2016 tentang Perubahan PP No. 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut  (PP Gambut). Paket kebijakan ini sudah ditandatangani Menteri LHK pada 9 Februari 2017.
 
Yang menarik, pemerintah melalui  PP Gambut, yakni tinggi muka air gambut minimal 0,4 meter — untuk akan menentukan rusak-tidaknya gambut hingga terlarang dibudidayakan. KLHK ternyata juga telah menetapkan peta indikatif 856 Kesatuan Hidorologi Gambut (KHG), yang disusun berdasarkan peta Lahan Gambut dari Kementerian Pertanian, Peta Hidrologi/Jaringan Sungai Rupa Bumi Indonesia, Peta Sistem Lahan dan Peta Rawa dari Kementerian Pekerjaan Umum. Luasnya? Tercatat 24,6 juta hektare (ha).
 
Namun, dari luasan KHG itu, yang bisa dibudidayakan ternyata kurang dari separuh atau 12,26 juta ha. Sisanya seluas 12,39 juta ha ditetapkan memiliki fungsi lindung. Nah, dari sinilah potensi kehebohan bakal muncul. Mengapa? Karena di kawasan lindung ini ada areal seluas 2,5 juta ha yang sudah dibebani izin hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan. Untuk HTI tercatat 1,6 juta ha, dan sisanya (sekitar 900.000 ha) perkebunan. Dan untuk masalah ini pemerintah memeberi solusi atau menawarkan land swap alias lahan pengganti agar kegiatan usaha tidak terganggu, terutama jika 40% atau lebih konsesinya masuk dalam fungsi lindung.
 
Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) LHK, mengaku ada sekitar 800.000 ha hutan yang bisa dimanfaatkan untuk land swap dan selain itu bagai mana nasib perkebunan? tentu ini merupakan tanda tanya besar. dan lahan ini masih kurang yang mana lahan yang akan di restorasi tadi sebanyak 2.5 Juta Hektar. Dan ini kelihatan nya akan semakain rumit baik itu Pengusaha, pekerja maupun pemerintah.
 
Menurut ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Komisariat Daerah Riau, sampai akhir tahun ini, diperkirakan akan ada 4.000 orang yang terpaksa di-PHK (pemutusan hubungan kerja) sebagai konsekuensi dari penerapan regulasi tentang gambut ini. Dan selanjutnya PHK akan dilakukan secara bertahap selama lima tahun. Perusahaan bukan tanpa konsekuensi melakukan PHK, karena akan menanggung biaya PHK sebesar Rp520 miliar.
 
Sebagai pecinta lingkungan tentunya kita setuju tentan permen No P.17 ini karena demi menjaga hutan lindung kita terutama hutan gambut dan menjaga eksosistem didalamnya. Bagi pengusaha ini merupakan ancaman keberlangsungan perusahaan karena berkurangnya bahan baku dan akan mengalami kerugian yang sangat besar serta memerlukan biaya yang tidak sedikit apabila melakukan Land Swap. Dan  bagi pemerintah dan pekerja akan berdampak meningkatnya pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja dengan pemnerapan regulasi ini. Ini merupakan dilema bagi kita semua dan faktanya ini lah yang terjadi pada saat sekarang ini yaitu "Dilema Hutan Gambut"
 
Kita berharap secara bijak baik pengusaha, pekerja,  maupun pemerintah duduk bersama untuk menemukan win win solution untuk permasalahan ini dan kedapannya menemukan jalan keluar untuk permasalahan yang dihadapi sekarang ini tanpa ada yang dirugikan. Sebagai catatan Alam butuh dijaga keseimbangannya demi keberlangsungan eksistem didalamnya, pengusaha butuh bahan baku untuk menjalan perusahannya dan pemerintah butuh integritas untuk melakukan pengawasan dan perlindungan, maka dari itu semua harus bersatu untuk menjadikan ketiga nya berdampingan secara harmoni. Sekian terimakasih.
 
 
Sumber :
Share:

Kerusakan Hutan Riau, Siapa Yang Harus Bertanggung Jawab ?

Kerusakan hutan dimasa sekarang ini memang sungguh sangat memprihatinkan dengan berkurangnya hutan primer dan hutan skunder secara signifikan. Hutan primer dan skunder ini digantikan dengan tanaman industri seperti Hutan tanaman industri (akasia) dan perkebunan kelapa sawit. Menurut data WWF, dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, Riau telah kehilangan 4 juta hektar hutan dan tutupan hutannya telah menurun dari 78% pada tahun 1982 ke hanya 28% pada tahun 2007. Deforestasi Riau didorong oleh kebutuhan supplay kayu untuk perusahaan-perusahaan bubur kertas dan juga perluasan industri kelapa sawit. Sebelum membahas kerusakan hutan lebih lanjut, Riau memiliki beberapa fakta-fakta unik yang perlu kita ketahui bersama anatara lain:
  1. Hutan Tesso Nilo yang mempunyai keanaeka ragaman tanaman yang lebih kaya dari pada hutan dataran rendah lain di Dunia.
  2. Hutan Riau adalah salah satu tempat habitat gajah sumatra untuk bertahan hidup.
  3. Hutan Riau adalah salah satu tempat dari dua 'lanskap konservasi harimau prioritas global' yang diidentifikasi oleh ilmuan harimau terkemuka pada tahun 2006 sebagai habitat penting harinau sumatra untuk bertahan hidup.
  4. Riau diperkirakan menyimpan cadangan karbon terbesar di Asia Tenggara dibawah hutan gambutnya.
  5. Hutan Riau adalah rumah dari 120 ekor gajah sumatra dan 192 harimau sumatra.
  6. Riau adalah rumah dua penghasil bubur kertas terbesar di Duniayang dimiliki oleh Asia Pulp & Paper dan APRIL.
  7. Riau telah kehilangan hutan alaminya untuk konsesi tanaman industri kertas dan kelapa sawit lebih besar dari provinsi lain di Indonesia.
  8. Riau telah kehilangan lebih dari 4 juta hektar hutan dalam kurun 25 tahun terakhir atau 65% dari luas asal hutannya.


Gambar 1. Deforestasi berdasarkan wilayah di Sumatra, 1990-2010

Penghujung tahun 2013 Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) merilis catatan bahwa deforestasi huitan semakin meningkat. Sepanjang tahun 2012-2013 total 252,172 hektar hutan alam dihancurkan oleh korporasi berbasis tanaman industri, dibanding tahun sebelumnya deforestasi sebesar 188,000 hektar. Dengan kata lain ada peningkatan sekitar 64,000 hektar lebih deforestasi terjadi dibanding tahun 2012. Kini sisa hutan alam sekitar 1,700,000 hektar atau tinggal 19% dari luas daratan Riau seluas 8,900,000 juta hektar.

"Kerusakan yang terjadi saat sekarang ini mencemirkan buruknya tata kelola kehutanan di Riau karena pemerintah Indonesia membiarkan korporasi menebang hutan alam, merampas hutan tanah rakyat, melakukan praktek korupsi, illegal logging dan perusakan ekologis. Apalagi setiap tahunnya terjadi kebakaran hutan yang sampai sekarang belum menemukan solusi sehingga mengakibatkan pencemaran udara oleh kabut asap. Sikap pembiaran dan tidak menemukan solusi untuk mengatasi kebakaran hutan tentunya menguntungkan pihak pihak tertentu dan merugikan khalayak orang banyak."

Mari kita flashback kembali pada tahun 2008, berdasarkan data WWF bahwa emisi gas rumah kaca yang sangat besar dihasilkan oleh konversi hutan dilahan gambut. Rata-rata jumlah emisi yang berhubungan dengan deforestasi di Riau selama 17 tahun sama dengan 1/4 yang dihasilkan semua negara yang telah menanda tangani Kyoto Protokol sampai tahun 2012.
Lahan gambut adalah tanah yang kaya dan padat dari benda-benda organik terutama tanaman, dikenal dengan "carbon sink" (Buangan Karbon) dimana lahan gambut dapat menyimpan lebih banyak karbon disetiap unit wilayah dari pada ekosistem lain. Walaupun hanaya ada 3-5 % daratan bumi dan permukaan air tanah, lahan gambut menyerap 25-30 % karbon dioksida dunia dan membantu mengurangi gas rumah kaca di atmosfir. Konversi hutan adalah faktor utama yang menyebabkan kerusakandan kebakaran hutan di Indonesia, terutama di wilayah gambut. Selama lima tahun terakhir 14 % dari kebakaran hutan dan lahan di Riau terdapat konsesi-konsesi yang berhubungan dengan salah satu perusahaan Pulp and Paper.


Gambar 2. Peta Keragaman Hayati dan Titik-Titik Panas di Sumatra

Selama adanya pembiaran korporasi menebang hutan alam, merampas hutan rakyat, melakukan praktek korupsi, illegal loging maka permasalahan  hutan di Riau ini tidak akan ada jalan keluarnya sehingga semakin parahnya kerusakan hutan dan semakin menurunnya populasi spesies di dalamnya seperti harimau sumatra, gajah sumatra, dan lain-lain. Dan tentunya tidak ada satu pun pihak yang mau disalahkan, jadi siapa yang harus bertanggung jawab atas kerusakan hutan di Riau?.


Referensi :

  • Savesumatra. Fakta Tentang Riau. http://www.savesumatra.org/index.php/wherewework/detail_location/5. n.d. Di akses 09-08-2015.
  • Mongabay. Laporan: Penebangan Hutan Riau, Potret Buruk Tata Kelola Kehutanan RI. http://www.mongabay.co.id/2014/01/01/laporan-penebangan-hutan-riau-potret-buruk-tata-kelola-kehutanan-ri/. 2014. Di akses 09-08-2015.
  • Nationalgeographic. Eksploitasi Hutan Riau, Potret Buruknya Tata Kelola Kehutanan RI. http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/01/eksploitasi-hutan-riau-potret-buruknya-tata-kelola-kehutanan-ri. 2014. Di akses 09-08-2015.


Share:

Kerusakan Hutan Sumatra

Pulau sumatra merupakan pulau terbesar ke 6 di Dunia. Pulau ini terletak bagian barat dari Indonesia yang memiliki berbagai macam suku seperti Suku melayu, Suku Batak, Suku Nias, Suku Minang Kabau, Suku Aceh, Suku Sakai, dan banyak lagi suku yang lainnya. Selain memiliki berbagai macam suku, Pulau Sumatra memiliki beraneka ragam flora dan fauna. Suku suku di Sumatra tidak terkecuali fauna yang ada didalamnya sangat tergantung pada keberadaan hutan. Selama berabad-abad hutan merupakan sumber kehidupan, di dalamnya banyak terdapat berbagai sumber makanan, obat-obatan, dan kayu yang digunakan bahan baku pembuatan papan untuk tempat tinggal dan memasak.

Sumatra dulunya merupakan surga hutan tropis yang membantu Indonesia mendapatkan julukan "Emerald of the Equator" dan sekarang julukan itu sudah sirna akibat kerusakan hutan yang tidak bisa di bendung akibat kemajuan zaman. Hutan yang memendam aneka ragam hayati tertinggi di Dunia digantikan dengan 2 pohon yaitu akasia dan kelapa sawit. Pembukaan lahan besar besaran untuk pengembangan perkebunan dan pemanenan kayu alam berkontribusi terhadap perubahan iklim. Perlu dicatat dan ini tidak bisa dipungkiri bahwa walaupun hutan alami digantikan dengan hutan tanaman industri tidak akan bisa mengganti dari peran hutan alami karena diukur dari curah hujan saja bahwa curah hujan hutan alami berbeda dari pada hutan tanaman industri. 

Selain itu, akibat kerusakan hutan habitat orang hutan, gajah, dan harimau sumatra sangat terganggu yang akibatnya menurunnya populasi yang sangat signifikan. Berdasarkan sumber dari WWF bahwa kerusakan hutan di Sumatra sangat menghawatirkan dan ini dapat dilihat pada peta pengurangan hutan dari tahun 1985 hingga tahun 2009 di bawah ini.



Gambar 1. Peta pengurangan hutan Sumatra tahun 1985-2009


Dari gambar peta diatas sebanyak 25,3 juta Ha hutan menutupi pulau sumatra pada tahun 1985 atau sekitar 58% hutan yang tersebar. Pada tahun 2009 hutan berkurang menjadi setengahnya menjadi 12,8 Ha atau 29% hutan yang tersebar. Kecepatan rata-rata pengurangan hutan per tahun 542000 Ha atau dengan tingkat deforesti sebesar 2,1% per tahun.

Hutan terbesar di Sumatra terletak di 3 Provinsi yaitu Riau, Aceh, dan Sumatra Selatan. Kenyataan pada saat sekarang ini kehilangan hutan alam terbesar terjadi pada Provinsi Riau sebesar 4,4 juta Ha dari 6,9 juta Ha. Hal ini dapat dilihat pada grapik dibawah ini.


Gambar 2. Penurunan hutan per Provinsi di Sumatra tahun 1985-2008

Hutan alam dan gambut Sumatra secara global sangat penting dalam penyerapan karbon yang bisa menyebabkan pemanasan global. Dengan hilangnya sebagian besar hutan alam dan pembakaran lahan gambut secara signifikan dalam perubahan iklim. Berdasarkan data penelitian WWF hutan alami sumatra dapat menyerap karbon yang sangat besar dan hal ini dapat dilihat pada tabel berikut.


Berdasarkan data kerusakan hutan alami Sumatra diatas maka hal ini tidak boleh di biarkan terus menerus terjadi. Pemerintah Indonesia sudah berusaha agar hutan alami tidak terus menerus berkurang dengan mengeluarkan UU perlindungan lingkungan hidup No 32 Tahun 2009 penyempurnaan dari UU PLH sebelumnya serta menggalakkan penanaman 1000 pohon. Selain undang-undang Pemerintah harus memiliki ketegasan dalam penegakan hukum baik itu kepada Industri yang bersangkutan maupun masyarakat apabila bersalah tanpa tebang pilih serta penerapan birokasi paperless, menggalakkan pariwisata hutan, reboisasi tepat sasaran dan Lain-lain.



Referensi :

- WWF, Sumatra’s Forests, their Wildlife and the Climate. 
   http://awsassets.wwf.or.id/downloads/wwf_indonesia__2010__sumatran_forests_wildlife_
   climate_report_for_dkn___bappenas.pdf. 2010
- Wikipedia, Daftar suku bangsa di Indonesia menurut provinsi. 
   https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_suku_bangsa_di_Indonesia_menurut_provinsi. n.d.
- Kompasiana, Peranan Pemerintah dan Masyarakat dalam Pelestarian dan Reboisasi Hutan 
  di Indonesi. http://www.kompasiana.com/gun4w4n/peranan- pemerintah-dan-masyarakat-dalam-
  pelestarian-dan-reboisasi-hutan-di-indonesia_55294387f17e617d558b458d. 2013.

Share:

Pangkalan Kerinci Menuju Mandiri Energi, Mungkinkah?

Pangkalan Kerinci adalah sebuah kecamatan dan juga merupakan ibu kota Kabupaten Pelalawan, Riau. Kecamatan ini memiliki potensi pengembangan karena terletak di jalur Lintas Sumatra atau lebih dikenal dengan Jalur Lintas Timur. Dalam wilayah yang terus berkembang kebutuhan akan energi tentunya sangat mepengaruhi. Energi merupakan faktor utama yang harus terpenuhi  agar perkembangan daerah tersebut tidak terhambat. 


Gambar 1. Gerbang Masuk Pangkalan Kerinci
(Sumber : https://galeriau.wordpress.com/2012/03/21/sudut-kota-pangkalan-kerinci/kerinci-1/)

Selain energi, penduduk merupakan salah satu faktor yang memepengaruhi proses pembangunan. Masalah tersebut mencakup jumlah, komposisi, dan distribusi penduduk. Jumlah penduduk yang besar dapat menjadi modal yang bagus untuk pemabangunan apabila dikelola dengan baik, namun sebaliknya dapat menjadi beban pembangunan bila kurang tepat pengolaannya.

Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) Pelalawan, Jumlah penduduk pada pertengahan tahun 2013 berjumlah 371.684 jiwa, terdiri dari 195.842 orang laki-laki dan 175.842 orang perempuan (bps, 2013). Peningkatan jumlah penduduk Kabupaten pelalawan begitu signifikan, ini bisa dilihat pada garfik pertumbuhan penduduk yang dproyeksikan dari pertengahan 2004 dibawah ini.


Gambar 2. Jumlah penduduk Kabupaten Pelalawan pertengahan
2004-2013
(Sumber : http://pelalawankab.bps.go.id/publikasi/penduduk_tengah2013/index.html)

Khusus Kecamatan Pangkalan Kerinci pertumbuhan penduduk pada pertengahan 2013 sebasar 95.722 jiwa. Apabila digolongkan berdasarkan jenis Kelamin dan rumah tangga maka jenis kelamin laki-laki sebesar 50.188 Jiwa, Perempuan sebesar 45.534 jiwa, dan berdasarkan rumah tangga sebesar 24.336 (bps, 2013). Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Pelalawan berdasarkan kecamatan yang terbesar pada Kecamatan Pangkalan Kerinci, ini bisa dilihat pada gambar 3.


Gambar 3. Penduduk Kabupaten Pelalawan Menurut Kecamatan
Pertengahan 2013
(Sumber: http://pelalawankab.bps.go.id/publikasi/penduduk_tengah2013/index.html)

Faktor Ibu Kota Kabupaten dan terletak di Lintas Sumatra, Pangkalan kerinci memiliki potensi yang sangat besar dalam pegembangan baik itu infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Hal itu tentunya disuport dengan kecukupan akan energi. Pemangku kepentingan (Stake Holder) memiliki peranan penting dalam menjadikan dan memanfaatkan sumber daya yang ada yang nantinya berguna bagi pengembangan daerah itu sendiri.

Kebutuhan energi khususnya energi listrik kabupaten pelalawan khususnya Pangkalan Kerinci berasal dari salah satu perusahaan swasta yaitu pembangkit listrik PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang bekerja sama dengan badan Pemerintah yaitu PLN selaku pendistribusi jaringan listrik. Sebesar 60% daya listrik bagi masyarakat di pelalawan disediakan oleh PT RAPP dan perusahaan daerah (metroterkini, 2012). Dengan adanya kerja sama ini secara langsung telah membantu program pemerintah dalam memenuhi kebutuhan akan energi listrik.

Kemandirian energi suatu daerah tergantung pada kemauan pada pemangku kepentingan untuk mengembangkan sumber sumber energi yang terdapat didaerah tersebut. Pelalawan merupakan salah satu kabupaten yang memiliki perkebunan kelapa sawit teresar di Propinsi Riau selain komoditas perkebunan lainnya seperti karet dan kelapa. Luas lahan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten ini mencapai 24.923,87 Ha pada tahun 2012 (bps pelalawan, 2012). Untuk potensi energi yang berasal dari residu pengolahan kelapa sawit itu sendiri sangat besar mulai dari fibre, POME, bunches, kernel, dan shell. Residu dari pengolahan kelapa sawit tersebut merupakan sumber energi yang belum dimanfaatkan secara maksimal dan apabila sumber ini kita manfaatkan dengan baik maka kebutuhan energi akan terpenuhi.

Selain potensi dari perkebunan, lahan pertanian juga memiliki potensi khususnya padi. Luas tanaman padi di Pelalawan pada tahun 2012 seluas 12.226 Ha dengan produksi 42.559 ton (padi sawah dan padi ladang). Penghasil padi terbesar terletak di Kecamatan Kuala Kampar sebesar 39.719,70 ton pada tahun 2012. Jika digolongkan sumber energi dari pengolahan padi ini terbagi menjadi dua yaitu residu primer dan residu sekunder. Residu primer berasal dari sisa panen padi disawah berupa jerami sedangkan residu sekunder berasal dari pengolahan padi itu sendiri yaitu berupa sekam. Dari residu pengolah padi ini bisa dimanfaatkan menjadi sumber energi.

Apabila potensi energi dari sektor perkebunan dan pertanian ini dimanfaatkan secara maksimal diharapkan dapat mengatasi krisis energi yang terjadi di Kecamatan Pangkalan Kerinci bahkan bisa juga memenuhi akan energi di Kabupaten Pelalawan.

Kemandirian energi merupakan sebuah wacana yang harus terus digalakkan dan direalisasikan. Kemandirian energi bukan berarti semua dibangun atau dibebankan oleh pemerintah daerah tetapi bisa juga bekerja sama dengan pihak lain dengan catatan menggunakan sumber daya yang ada di dalam daerah itu sendiri.



Referensi :

  • wikipedia, Kabupaten Pelalawan.http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Pelalawan. n.d (Di akses : 12 May 2015)
  • Pelalawankab.bps, Pelalawan dalam Angka 2013. http://pelalawankab.bps.go.id/publikasi/penduduk_tengah2013/index.html. 2013. (Di akses : 12 May 2015)
  • metroterkini, Pangkalan kerinci krisis listrik PLN siapkan genset. http://metroterkini.com/berita-2583-pangkalan-kerinci-krisis-listrik-pln-siapkan-genset.html. 2012. (Di akses : 12 May 2015)
  • Pelalawankab.bps, Pertanian. http://pelalawankab.bps.go.id/?pertanian,43. 2012. (Di akses : 12 May 2015)
Share:

Penerapan Energi Biomassa Pada Pembangkit Listrik PT RAPP

Indonesia merupakan negara berkembang yang sangat tergantung dengan energi fosil khususnya batu bara, gas alam dan minyak bumi. Sejak zaman pemerintahan orde baru hingga saat sekarang ini, energi utama yang menggerakkan perekonomian di Indonesia adalah energi bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil merupakan energi tak terbarukan sehingga semakin lama energi ini digunakan maka energi ini akan habis. Pada kenyataannya produksi minyak bumi kita saat sekarang ini terus mengalami penurunan sedangkan konsumsi terus meningkat. 


Meningkatnya populasi manusia merupakan salah satu penyebab terjadinya krisis energi. Semakin banyak populasi manusia maka semakin tinggi permintaan akan energi. Gambar 1  memperlihatkan populasi penduduk Indonesia pada tahun 2005 meningkat menjadi 220.923.000 jiwa. Data yang di perlihatkan menunjukan peningkatan yang signifikan dan peningkatan ini diproyeksikan terus bertambah hingga 2025 menjadi 280.447.000 jiwa. 

Gambar 1 Populasi penduduk Indonesia
(Sumber :PEUI, 2006)

Peningkatan populasi manusia akan diikuti dengan peningkatan pada sektor industri, perumahan, transportasi, dan lain-lain. Gambar 2 memperlihatkan pemakaian total energi pada beberapa sektor yang terus meningkat hingga tahun 2025. 

 Gambar 2 Total consumption by sector (including biomass)
(Sumber : PEUI, 2006)

Perkembangan energi terbarukan di Indonesia untuk saat sekarang ini sudah bisa dikatakan pesat karena sudah didukung oleh regulasi regulasi pemerintah tentang penggunaan energi terbarukan. Di antara regulasi utama yang memeberi perhatian khusus pada pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia adalah : Peraturan Presiden Nomor 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, Bluprint Program Implementasi Energi Nasional 2005, Peraturan pemerintah Nomor 3/2005 tentang Suplay Listrik, Undang-Undang Nomor 30/2007 tentang Energi, Undang-Undang Nomor 20/2002 tentang Ketenagaan Listrikan, dan lain-lain (Kunaifi, 2011). 

Indonesia memiliki sumber energi terbarukan yang cukup besar mulai dari energi matahari, energi laut, energi angin, energi mikrohidro, dan energi biomassa. Berbicara tentang energi biomassa tidak terlepas dari lingkungan sekitar kita, karena sumber energi bioamassa ini sangat dekat dengan kehidupan kita misalnya produk dan limbah pertanian, limbah perkebunan (sawit, hutan tanaman industri, kelapa dan lain-lain), dan limbah peternakan. Energi Biomassa adalah jenis bahan bakar yang dibuat dengan mengkoversi bahan biologis seperti tanaman.

Gambar 3 Sumber-sumber energi biomassa
(Sumber : amazine, n.d)

Untuk mendukung pemerintah dalam menerapkan energi terbarukan untuk menghasilkan energi khususnya listrik, baik itu pembangkit listrik swasta maupun milik negara harus memiliki komitment yang kuat. Sehingga nantinya setiap pembangkit listrik yang ada di Indonesia tidak terfokus menggunakan bahan bakar fosil namun juga menggunakan non fosil atau gabungan antara keduanya (Mix Energy). Dengan menggunakan energi terbarukan ini diharapkan nantinya mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. 

Salah satu perusahaan swasta yang telah menerapkan energi terbarukan khususnya biomassa adalah PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP) di Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau. Bahkan energi yang digunakan oleh PT RAPP 100% berasal dari energi biomassa (Fiber of Oil Palm and bark) khusus pada proses Boiler 2. PT RAPP memiliki 3 Power Boiler; Power Boiler 1 menggunakan bahan bakar kulit kayu (bark), Power Boiler 2 menggunakan bakan bakar Kulit kayu dan serat buah kelapa sawit (Fiber of Oil Palm and bark), dan Power Boiler 3 menggunakan bahan bakar batu bara dan kulit kayu (Coal and bark).

Gambar 4 memperlihatkan bagaimana proses bahan bakar biomassa Fiber of Oil Palm and bark digunakan untuk pembangkit listtrik. Dimana Fiber of Oil Palm and bark dibakar dalam power boiler (Furnace) untuk menghasilkan steam yang digunakan untuk menggerakan turbine generator untuk menghasilkan arus listrik.

Gambar 4 Proses konversi energi biomassa menghasilkan listrik
di PT RAPP 


Perusahaan perusahaan swasta maupun milik negara sudah banyak menggunakan energi biomassa. Baik itu 100% menggunakan biomassa atau dikombinasikan dengan energi bahan bakar fosil (mix energy). Ini membuktikan bahwa regulasi pemerintah dan komitment yang kuat dari pemangku kepentingan (stakeholder) dari perusahaan swasta maupun pemerintah sangat central perannanya dalam penerapan energi biomassa ini.

Hal ini tentunya sangat berguna bagi kita saat sekarang ini hingga anak cucu kita nanti. Kalau tidak kita mulai dari sekarang maka krisis energi yang melanda saat sekarang ini akan semakin berlanjut untuk kedepannya. Lupakan tentang memikirkan diri sendiri, hentikan politik yang bertujuan memperkaya diri sendiri tanpa memikirkan khalayak orang banyak, dan mulailah kita memikirkan secara bersama bagaimana energi yang kita gunakan bisa berkelanjutan (Sustainable) yang berguna untuk putra putri bangsa kita kedepannya.




Sumber :

        Amazine. Apa Itu Energi Bioamassa? Definisi dan 4 Contohnya. http://www.amazine.co/27020/apa-itu-energi-biomassa-definisi-dan-4-contohnya/. n.d. (Diakses : 26-03-2015)

       Kunaifi. Analisa Potensi dan Peluang Energi Biomassa di Kabupaten Kampar. UIN SUSKA, Riau. 2011.

      Pengajian Energi Universitas Indonesia (PEUI). Indonesia energy Outlook & Statistics 2006.       Universitas Indonesia, Depok. 2006.

Share:

Mengenai Saya

Foto saya
Kerinci, Riau, Indonesia
Energi merupakan kebutuhan yang sangat penting di segala aspek kehidupan. mulai dari industri, transportasi,prumahan, dan lain-lain membutuhkan energi. energi yang dominan digunakan sekarang adalah energi bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil tergolong energi tak terbarukan sehingga semakin lama digunakan maka energi ini akan habis. mari kita pikirkan bagaimana energi terbarukan (renewable) dapat dioptimalkan penggunannya untuk saat sekarang ini.

Total Tayangan Halaman

Like and Share